FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN, PERTUMBUHAN DAN
ANALISIS USAHA UDANG
VANAME (Litopenaeus vannamei) YANG DIPELIHARA DENGAN TEKNIK BUSMETIK
Yanto Kadir
Abstract
This research aims to determine the latest cultivation
techniques that cultivation of vaname shrimp nourished by BUSMETIK techniques
in Beach Fish Seed Center of Lamu Village Tilamuta District. The data is
collected directly in the research site used descriptive and quantitative
analysis based on primary and secondary data. The results showed that
cultivation of vaname shrimp nourished with BUSMETIK techniques used feeding
frequency 2, 3, 4 and 5 obtained outgrowths of absolute weight of 9.6 grams and
daily weight is 0.16 grams a day. Survival reached 80%. Cultivation used
BUSMETIK techniques is feasible because it has the economic profitability of
79.87%> 20% bank interest and the B / C ratio of 1.5.
PENDAHULUAN
Peningkatan
produksi perikanan budidaya secara global rata-rata mencapai 8,9% per
tahun sejak tahun 1970. Bila dibandingkan dengan sektor perikanan tangkap dan
peternakan dalam kurun waktu yang sama masing-masing hanya mencapai 1,2 dan 2,8
% per tahun. Namun demikian, dalam lima dekade mendatang, maka produksi
budidaya harus bertumbuh hingga lima kali lipat untuk mensuplai kebutuhan
populasi. Perkembangan ini harus mengatasi tiga hal pokok (Avnimelech, 2009 dalam Nur, 2011) sebagai berikut; a) memproduksi
banyak ikan tanpa meningkatkan penggunaan sumberdaya alam (tanah dan air)
secara nyata, b)
membangun sistem budidaya
yang berkelanjutan tanpa merusak lingkungan, c) membangun sistem budidaya dengan ratio cost/benefit secara rasional guna mendukung kelangsungan budidaya secara
ekonomis dan sosial.
Salah
satu faktor penting dalam mendukung ketiga hal tersebut di atas adalah penyediaan
nutrisi. Nutrisi dan pemberian pakan memegang peranan penting untuk
kelangsungan usaha budidaya hewan akuatik. Penggunaan pakan yang efisien dalam
suatu usaha budidaya sangat penting oleh karena pakan merupakan faktor produksi
yang paling mahal. Oleh karena itu, upaya perbaikan komposisi nutrisi dan
perbaikan efisiensi penggunaan pakan perlu dilakukan guna meningkatan produksi
hasil budidaya dan mengurangi biaya pengadaan pakan, serta meminimalkan
produksi limbah pada media budidaya.
Budidaya merupakan sektor yang cukup
produktif saat ini dan terus berkembang. Produktivitas dari kegiatan budidaya mampu
mengimbangi peningkatan kebutuhan pangan manusia. Komoditas budidaya yang
menjanjikan saat ini adalah udang vaname (Litopeneaus
vannamei). Udang vaname memiliki beberapa nama, seperti whiteleg shrimp (Inggris), crevette pattes blances (Perancis), dan camaron patiblanco (Spanyol).
Udang
vaname ini berasal dari perairan Amerika dan mulai masuk ke Indonesia pada
tahun 2001, mempunyai
banyak keunggulan di antaranya yaitu mempunyai pertumbuhan yang baik, tahan
terhadap penyakit dan konversi pakannya lebih baik dibandingkan udang windu
(Ditjen Perikanan Budidaya, 2004). Sampai saat
ini komoditas ini sudah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia dan dikembangkan
oleh para petani dan pemerintah melalui suatu balai
penelitian mengenai
bagaimana cara budidaya udang vaname. Permintaan
udang jenis ini sangat besar baik pasar lokal maupun internasional, karena
memiliki keunggulan nilai gizi yang sangat tinggi serta memiliki nilai ekonomis
yang cukup tinggi menyebabkan pesatnya budidaya udang vaname (Litopenaeus Vannamei).
Budidaya udang vaname (Litopenaeus
vannamei) merupakan salah
satu alternatif pemecahan untuk
mengatasi kegagalan budidaya bandeng dengan upaya pergantian varietas di sektor
perikanan, dimana spesies ini lebih tahan terhadap penyakit. Udang vaname
secara resmi ditetapkan sebagai komoditas unggulan perikanan budidaya oleh
Menteri Kelautan dan Perikanan pada tahun 2001 dan mengalami perkembangan yang
sangat cepat. Namun dalam usaha budidaya tersebut ada faktor yang berperan
penting yang sangat menentukan keberhasilan budidaya yaitu pakan. Pakan sebagai
komponen terbesar dalam pembiayaan sangat menentukan keberhasilan budidaya.
Saat ini penelitian pakan diarahkan kepada penciptaan pakan ikan yang
murah dan ramah lingkungan serta dengan sistem pemeliharaan yang efektif dalam
hal pemberian pakan. Biaya pakan dalam budidaya ikan atau udang semi intensif
dan intensif memegang peranan yang sangat penting saat ini karena merupakan
biaya terbesar yang dikeluarkan untuk kegiatan budidaya udang atau ikan. Pada
saat ini biaya pakan untuk budidaya lebih dari 50% dari biaya operasional
budidaya (Primaverra, 1998). Dalam hal penerapan budidaya begitu banyak inovasi
yang berkembang sehingga mampu menekan biaya produksi khususnya dari segi
pakan. Salah satunya adalah pemeliharan udang vaname dengan teknik Budidaya
Udang Skala Mini Empang Plastik (BUSMETIK). Budidaya dengan teknik BUSMETIK
merupakan inovasi baru di bidang budidaya khususnya udang yang saat ini
dipromosikan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui instansi pusat dan
daerah. Saat ini penerapan di daerah masih
pada tahapan percobaan untuk melihat sejauh mana produktivitasnya, seperti
halnya yang ada di Provinsi Gorontalo.
TINJAUAN PUSTAKA
Udang vaname
merupakan udang introduksi yang berasal dari Amerika Selatan dan masuk ke
Indonesia pada tahun 2001. Petambak memilih udang ini sebagai komoditas
budidaya karena dinilai memiliki daya tahan yang lebih tinggi terhadap
penyakit, kepadatan tebar yang lebih tinggi dan teknis budidaya yang lebih
ringan dibandingkan pengelolaan udang windu
(Rusmiati, 2014). Menurut Haliman dan Adijaya (2005),
klasifikasi udang vaname(Litopenaeus vannamei) sebagai berikut :
Kingdom
: Animalia
Filum : Artrhopoda
Kelas : Crustacea
Ordo : Decapoda
Famili : Penaeidae
Genus : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus vannamei
Tubuh
udang vaname dibentuk oleh dua cabang (biramous), yaitu exopodite dan
endopodite. Seluruh tubuhnya tertutup oleh eksoskeleton yang terbuat
dari bahan kitin. Tubuhnya beruas-ruas dan mempunyai aktivitas berganti kulit
luar (eksoskeleton) secara periodik (molting). Bagian tubuh udang vaname
sudah mengalami modifikasi, sehingga dapat digunakan untuk beberapa keperluan
antara lain : makan, bergerak dan membenamkan diri ke dalam lumpur, menopang
insang, karena struktur insang udang mirip bulu unggas serta organ sensor
seperti antenna dan antennulae (Haliman dan Adijaya, 2005). Tubuh
udang yang dilihat dari luar terdiri dari bagian, yaitu bagian depan yang
disebut cephalothorax, karena menyatunya bagian kepala dan dada serta
bagian belakang (perut) yang disebut abdomen dan terdapat ekor (uropod)
di ujungnya (Suyanto dan Mudjiman, 2001). Bentuk morfologi udang vaname dapat
dilihat pada Gambar 1.
Keterangan :
1. Kelopak Mata 7.
Pleopod 13.
Hepatic (Hati)
2. Antennulae 8.
Rostrum 14.Cardia
Cregion
3. Antenna 9. Antennal spine 15. Telson
4. Rahang Atas II 10. Supraorbital Spine 16. Uropod
5. Rahang Atas III 11. Orbital Spine
6.
Periopod
12. Hepatic Spirse
Cephalothorax
udang vaname terdiri dari antenna,
antennulae, mandibula dan dua pasang maxillae. Kepala ditutupi
oleh cangkang yang memiliki ujung runcing dan bergigi yang disebut rostrum.
Kepala udang juga dilengkapi dengan tiga pasang maxilliped dan lima
pasang kaki jalan (periopod). Maxilliped sudah mengalami
modifikasi dan berfungsi sebagai organ untuk makan (Haliman dan Adijaya, 2005).
Bagian abdomen terdiri dari enam ruas, terdapat lima pasang kaki renang
pada ruas pertama sampai kelima dan sepasang ekor kipas (uropoda) dan
ujung ekor (telson) pada ruas yang keenam. Di bawah pangkal ujung ekor terdapat
lubang dubur (anus) (Suyanto dan Mudjiman, 2001).
Ciri
khusus yang dimiliki oleh udang vaname adalah adanya pigmen karotenoid yang terdapat pada bagian kulit. Kadar pigmen ini
akan berkurang seiring dengan pertumbuhan udang, karena saat mengalami molting sebagian pigmen yang terdapat pada kulit akan ikut terbuang. Keberadaan pigmen ini memberikan warna putih
kemerahan pada tubuh udang (Haliman dan Adijaya, 2005). Udang jantan dan betina
dapat dibedakan dengan melihat alat kelamin luarnya. Alat kelamin luar jantan
disebut petasma, yang terletak di dekat kaki renang pertama, sedangkan
lubang saluran kelaminnya terletak di antara pangkal kaki jalan keempat dan
kelima (Adiyodi, 1970).
Udang vaname bersifat nokturnal, yaitu lebih
aktif beraktifitas di daerah yang gelap. Proses perkawinan ditandai dengan
loncatan betina secara tiba-tiba. Saat meloncat tersebut, betina mengeluarkan
sel-sel telur. Saat yang bersamaan, udang jantan mengeluarkan sperma sehingga
sel telur dan sperma bertemu. Proses perkawinan berlangsung lebih kurang satu
menit. Sepasang udang vaname berukuran antara 30-45 gram dapat menghasilkan
telur yang berukuran 0,22 mm berkisar antara 100.000-250.000 butir (Adiyodi,
1970). Telur dapat menetas berkisar antara 18-24 jam pada suhu 28° C (Brown,
1991). Siklus hidup atau siklus produksi udang vaname dapat dilihat pada Gambar
2.
Stadia nauplius adalah stadia yang pertama setelah telur menetas. Stadia
ini memiliki lima sub stadia (Brown, 1991). Larva berukuran antara 0,32-0,58
mm, sistem pencernaannya belum sempurna dan masih memiliki cadangan makanan
berupa kuning telur (Haliman dan Adijaya, 2005).Stadia zoea terjadi
berkisar antara 15 – 24 jam setelah stadia nauplius. Larva sudah berukuran
antara 1,05 – 3,30 mm (Haliman dan Adijaya, 2005). Stadia zoea memiliki
tiga sub stadia, yang ditandai dengan tiga kali molting.
Tiga tahap molting atau tiga sub stadia itu disebut
dengan zoea 1, zoea 2 dan zoea 3. Stadia ini, larva sudah
dapat makan plankton yang mengapung dalam kolom air. Tubuh akan semakin
memanjang dan mempunyai karapaks. Dua
mata majemuk dan uropods juga akan muncul (Brown, 1991). Lama waktu dari
stadia ini menuju stadia berikutnya berkisar antara 4-5 hari (Haliman dan
Adijaya, 2005).Stadia mysis memiliki durasi waktu yang sama dengan
stadia sebelumnya dan memiliki tiga sub stadia, yaitu mysis 1, mysis 2
dan mysis 3. Perkembangan tubuhnya dicirikan dengan semakin menyerupai
udang dewasa serta terbentuk telson dan pleopods. Benih pada
stadia ini sudah mampu berenang dan mencari makanan, baik fitoplankton maupun
zooplankton (Brown, 1991).
Saat stadia post larva (PL),
benih udang sudah tampak seperti udang dewasa. Umumnya, perkembangan dari telur
menjadi stadia post larva dibutuhkan waktu berkisar antara 12-15 hari,
namun semua itu tergantung dari ketersediaan makanan dan suhu (Brown, 1991).
Hitungan stadia yang digunakan sudah berdasarkan hari. PL I berarti post
larva berumur satu hari. Saat stadia ini, udang sudah mulai aktif bergerak
lurus ke depan dan sifatnya cenderung karnivora. Umumnya, petambak akan
melakukan tebar dengan menggunakan udang yang sudah masuk dalam stadia antara PL10-PL15
yang sudah berukuran rata-rata sepuluh millimeter (Haliman dan Adijaya, 2005).
Di alam, populasi udang vaname dapat
ditemukan di Pantai Pasifik Barat, sepanjang Peru bagian Utara, melalui Amerika
Tengah dan Selatan sampai Meksiko bagian Utara, yang mempunyai suhu air normal
lebih dari 20°C sepanjang tahun. Udang vaname hidup di habitat laut tropis.
Udang dewasa hidup dan memijah di laut lepas dan larva akan bermigrasi dan
menghabiskan massa larva sampai post larva di pantai, laguna
atau daerah mangrove. Secara umum, udang Penaeid membutuhkan kondisi
lingkungan dengan suhu berkisar antara 23-32°C, kelarutan oksigen lebih dari 3
ppm, pH 8 dan salinitas berkisar antara 10-30 ppt (Brown, 1991).
Udang
vaname sangat toleran dan dapat bertahan hidup pada suhu yang rendah (di bawah
15°C), walaupun pertumbuhannya akan sedikit terganggu. Sifat ini memungkinkan
budidaya udang ini di musim dingin. Namun, pertumbuhan terbaik dicapai pada
suhu berkisar antara 23-30°C, dengan pertumbuhan optimum pada suhu 30° C untuk
udang muda (dengan berat rata-rata satu gram) dan suhu 27° C untuk udang yang
lebih besar (12-18 gram). Udang vaname juga mempunyai kisaran toleransi
yang tinggi terhadap salinitas. Udang ini mampu hidup pada salinitas yang
berkisar antara 0,5-45 ppt (Brown, 1991).
Menurut
Duraippah dan Sae Hae (2000) dalam
Hartono (2009), tingkat Kelangsungan hidup udang vaname dapat mencapai 80-100%
sedangkan menurutBoyd dan Clay (2002) dalam
Drajadyah (2010), tingkat kelangsungan hidup udang vaname mencapai
91%.Faktor-faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup udang selama penelitian
yaitu lingkungan, padat tebar, pakan yang diberikan dan parameter kualitas air
terutama suhu dan pH diatur keberadaannya.Wyban dan Sweeney (1991), menambahkan bahwa pertumbuhan udang vaname tergantung
dua faktor yaitu frekuensimoulting (waktu antara moulting) dan peningkatan
pertumbuhan (berapa pertumbuhan setiap moulting baru), kecepatan pertumbuhan
dari dua faktor tersebut, namun akan menurun apabila kondisi lingkungan dan
nutrisi yang diberikan tidak cocok (Wickins dan Lee, 2002).
Secara
terminologi pakan (feed) adalah bahan
yang dapat dimakan dan menyediakan zat makanan ternak. Menurut Hartadi dan AD
Tilman (1997), pengertian pakan (feed) digunakan
untuk hewan, sedangkan pangan (food)
digunakan untuk manusia. Seperti pada organisme
lainnya, hewan akuatik memerlukan nutrien esensial untuk proses pertumbuhan,
pemeliharaan dan penggantian jaringan yang telah rusak, pengaturan beberapa
fungsi tubuh, serta untuk mempertahankan kondisi kesehatan. Seiring dengan
usaha intensifikasi budidaya, maka ketergantungan pada sediaan pakan alami
semakin berkurang dan sebaliknya suplai energi semakin banyak ditentukan oleh
pakan buatan yang diberikan.
Craig dan
Helfrich (2002) dalam Buchari (2010)
mengemukakan bahwa pakan dapat memberikan pertumbuhan yang baik apabila nilai
efisiensi pemberian pakannya lebih dari 50%.Dalam hal ini diperlukan pakan
dengan kadar nutrisi yang seimbang serta pemberian yang cukup untuk mendukung
pertumbuhan yang optimal dan pada akhirnya untuk peningkatan pendapatan hasil
usaha budidaya. Sebaliknya penggunaan pakan yang tidak bermutu berdampak pada
respon pertumbuhan yang rendah, mudah terserang penyakit, serta dapat
menyebabkan kematian. Oleh karena itu, perpaduan antara penggunaan pakan
berkualitas tinggi serta tingkat pengelolaan yang lebih baik telah terbukti
memperbaiki efisiensi penggunaan pakan, penurunan biaya pengadaan pakan, serta
mengurangi dampak kerusakan lingkungan.
Kartadinata et al. (2011),pakan yang berasal dari
bahan nabati biasanya lebih sulit dicerna dibandingkan pakan yang berasal dari
bahan hewani, karena pada umumnya bahan pakan nabati mengandung zat anti
nutrisi seperti asam fitat. Salah satu prinsip yang perlu diketahui dalam
penerapan pakan untuk kepentingan budidaya adalah program pemberian pakan
secara efektif (effective feeding program).Hal ini memerlukan
pengetahuan tentang kebutuhan nutrien dari kultivan yang akan dipelihara,
kebiasan dan tingkah laku makan, serta kemampuan kultivan dalam mencerna dan
menggunakan nutrien esensial yang diberikan.Pakan yang diberikan harus mampu
menyediakan nutrien yang dibutuhkan oleh kultivan seperti protein dan asam
amino esensial, lemak dan asam lemak, energi, vitamin, dan mineral.
Menurut Cho et al. (1985) dalam Hendi (1999) pakan yang memenuhi
persyaratan bagi ikan/udang antara lain memenuhi kebutuhan nilai nutrisi ikan,
dapat dicerna dan diserap dengan baik oleh tubuh, disukai dan memiliki tekstur
yang dapat diterima ikan. Lebih lanjut Cowey dan Sargent (1972) dalam Afrilia (2010) menjelaskan bahwa
dalam penyusunan komposisi pakan, keseimbangan antar protein dan energi perlu
diperhatikan.Dengan demikian, kualitas
pakan pada akhirnya ditentukan oleh tingkat nutrien yang tersedia bagi
kultivan. Hal ini penting oleh karena baik ikan maupun udang memerlukan pakan
semata hanya untuk memenuhi kebutuhan energi,
sehingga nilai energi dari suatu pakan turut menetukan tingkat efisiensnya.
Kebutuhan
nutrien untuk spesies tertentu perlu diketahui. Sebagai contoh, kebutuhan
protein dari ikan omnivor seperti bandeng, atau ikan herbivor seperti pada tilapia umumnya lebih rendah
dibandingkan dengan ikan karnivor seperti pada kakap, kerapu dan snapper.
Setiap ikan juga berbeda mengenai kebutuhan asam lemak esensial. Bandeng
membutuhkan asam lemak dari kelompok n-3, sementara ikan kakap dan udang windu
membutuhkan asam lemak dari kelompok n-3 dan n-6. Sebaliknya pada ikan tilapia
membutuhkan asam lemak n-6. Dengan demikian, dalam memformulasikan suatu pakan
hendaknya didasarkan pada kebutuhan dan tingkat nutrien esensial yang
diperlukan dari kultivan tertentu.
Menurut
Steffens (1989) kegunaan energi dalam pakan sangat penting bagi udang karena
dengan energi udang dapat melakukan aktivitas. Udang memanfaatkan protein untuk
pertumbuhan, sedangkan lemak untuk aktivitas udang, hal ini sesuai dengan
pernyataan Winarno (1984) bahwa energi yang bersumber dari protein digunakan
untuk pertumbuhan. Menurut Djajasewaka dan Putro (1986) lemak dalam pakan
merupakan sumber energi paling tinggi disamping protein dan karbohidrat (BETN).
Dibidang
pengembangan pakan, upaya perbaikan kualitas bahan baku dan pengurangan biaya
pengadaan pakan, serta perbaikan pengelolaan pakan di tingkat petani terus
dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pakan
bagi kultivan yang dipelihara. Selama pembuatan pakan perlu diperhatikan untuk
tetap mempertahankan komposisi nutrien dan sekaligus mengeleminir zat
anti-nutrisi. Pengawasan terhadap kualitas pakan dimulai dari pemilihan bahan
baku hingga proses produksi dan penyimpanan, dan terakhir pada pengguna dilapangan
juga perlu dilakukan.
Pengelolaan pakan
harus dilakukan sebaik mungkin dengan memperhatikan apa, berapa banyak, kapan,
berapa kali, dan dimana ikan/udang diberi pakan. Penerapan feeding regime hendaknya
disesuaikan dengan tingkah laku ikan, serta siklus alat pencernakan guna
memaksimalkan penggunaan pakan. Selain
itu, upaya mengurangi limbah pakan tidak hanya berpengaruh terhadap biaya
produksi tetapi juga berdampak pada terpeliharanya lingkungan budidaya.
Semula digolongkan kedalam hewan pemakan segala macam
bangkai (omnivorous scavenger) atau
pemakan detritus. Dari hasil penelitian terhadap usus udang menunjukan bahwa
udang ini adalah karnivora yang memakan crustacea
kecil dan amphipoda dan polychaeta(Rusmiati, 2014).Secara alami (Litopenaeus
vannamei)
merupakan hewan nocturnal yang aktif pada malam hari untuk mencari
makan, sedangkan pada siang hari sebagian dari mereka bersembunyi didalam
substrata tau lumpur. Namun ditambak budidaya dapat dilakukan feeding dengan
frequency yang lebih banyak untuk memacu pertumbuhannya (Rusmiati, 2014).Pada tambak intensif dimana tidak ada jasad renik,
udang akan memangsa makanan yang
diberikan atau detritus (Motoh, 1981).Udang
vaname membutuhkan makanan yang kandungan protein 35%, lebih kecil jika
dibandingkan udang-udang asia seperti Penaeus monodon dan Panaeusjavanicus
yang membutuhkan pakan dengan kandungan protein hingga 45%. Hal ini akan
berpengaruh terhadap harga pakan dan biaya produksi (Rusmiati, 2014).
Usaha budidaya
berkembang dengan pesat mulai dari sistem ekstensif hingga sistem intensif.
Perkembangan ini telah menimbulkan masalah terutama dalam hal usaha budidaya
yang berkelanjutan. Nutrien yang
tersedia dalam pakan, sebagaian besar dapat menjadi polutan pada lingkungan
budidaya, seperti nitrogen, fosfor, bahan organik, dan hidrogen sulfida.
Semakin tinggi padat tebar membawa konsekuensi pada peningkatan limbah
metabolik yang dihasilkan. Di sisi lain limbah metabolik tersebut akan
terakumulasi dalam media budidaya dan pada gilirannya menjadi zat racun yang
menghambat pertumbuhan bahkan dapat mematikan organisme yang dipelihara(Nur, 2011).
Limbah hasil
budidaya dapat berupa: (a) bahan padatan, terutama berupa sisa pakan, kotoran
ikan (feces), serta koloni bakteri;
(b) bahan terlarut, seperti amoniak, urea, karbondioksida, fosfor dan hidrogen
sulfida. Limbah ini akan meningkat seiring dengan konversi pakan yang rendah.
Pada kondisi ini diperlukan penyesuaian jumlah pakan untuk mencegah terjadinya
penumpukan sisa pakan yang dapat meningkatkan polusi baik pada media budidaya,
hamparan sekitar media peliharaan, dan sekaligus pada daerah perairan pantai (coastal
zone)(Nur, 2011).
Penerapan pakan
yang ramah lingkungan merupakan suatu keharusan sebagai upaya untuk berbudidaya
yang berkelanjutan. Hal ini dapat ditempuh dengan memperhatikan beberapa hal
sebagai berikut :
Ø Pakan
diformulasi dengan komposisi nutrien yang seimbang (well- balanced diet)
seperti ketersediaan asam amino yang cukup, protein : energi rasio yang
seimbang, sehingga -N banyak yang terasimilasi dalam tubuh dan sedikit -N yang
diekskresikan oleh ikan;
Ø Total fosfor dalam pakan hendaknya disesuaikan dengan organisme
yang akan dipelihara. Bahan baku yang memiliki ketersediaan fosfor yang tinggi
lebih baik digunakan;
Ø Gunakan bahan yang memiliki kecernaan tinggi guna mengurangi
limbah organik dari pakan;
Ø Perbaikan stabilitas pakan melalui penggunaan binder yang efisien
serta teknologi pembuatan pakan yang baik;
Ø Penggunaan sumber protein alternatif selain tepung ikan perlu
pengkajian lebih lanjut;
Ø Hindari penggunaan bahan baku asing (exotic feedstuff) yang
kemungkinan mengandung zat yang dapat menghambat pertumbuhan, kecuali ada
metode tertentu untuk mendeteksi dan menghilangkan zat tersebut dalam pakan.
Zat
makanan terpenting yang diperlukan ikan/udang
untuk pertumbuhan adalah zat protein. Jumlah dan kualitas protein sangat
berpengaruh tehadap tingkat pertumbuhan ikan/udang
karena protein bagi ikan/udang adalah merupakan
sumber energi yang paling penting. Pertumbuhann ikan/udang dapat dipercepat
dengan pemberian pakan yang mengandung protein tinggi (30%-40%) karena protein
merupakan bagian terbesar dari daging ikan/udang.
Zat protein digunakan hewan untuk pemeliharaan tubuh, pembentukan jaringan
tubuh, penambahan protein tubuh, dan penggantian jaringan yang rusak (Kanisius,
2001).
Pakan akan diproses dalam tubuh ikan/udang dan
unsur-unsur nutrisi atau gizinya akan diserap untuk dimanfaatkan membangun
jaringan dan daging, sehingga pertumbuhan ikan/udang akan terjamin. Kecepatan
laju pertumbuhan ikan/udang sangat dipengaruhi oleh jenis dan kualitas pakan
yang diberikan berkualitas baik, jumlahnya mencukupi, kondisi lingkungan
mendukung, dapat dipastikan laju pertumbuhan ikan/udang akan menjadi cepat
sesuai dangan yang diharapkan (Khairuman dan Amri, 2002).
Pertumbuhan sangat berkaitan dengan masalah perubahan
besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel organ maupun individu yang bisa
diukur dengan berat, ukuran panjang, umur tulang, dan keseimbangan
metaboliknya. Pertumbuhan (growth)
dapat diartikan sebagai perubahan secara kuantitatif selama siklus hidup yang
bersifat tak terbalikkan (irrevesible).
Bertambah besar ataupun bertambah berat, ataupun bertambah bagian akibat adanya
penambahan unsur-unsur struktural.
Menurut Lesmana dan Dharmawan (2006), cara
pemeliharaan menentukan cepat lambatnya pertumbuhan ikan/udang. Faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan ikan/udang antara lain : keturunan, pertumbuhan
kelamin dan umur, serta kerentanan terhadap penyakit. Pada pemeliharaan udang,
kualitas air, kepadatan serta jumlah kualitas dan kuantitas pakan pun harus
selalu diperhatikan. Jumlah dan kuantitas pakan merupakan faktor penting. Bila
pakannya terlalu sedikit, maka ikan/udang akan sukar tumbuh dan jika terlalu
banyak, kondisi air akan menjadi jelek.
Pakan yang diberikan selama periode
budidaya berlangsung sangat sulit untuk dikontrol secara tepat baik jumlah
maupun waktu. Oleh karena itu pengaturan jumlah pakan senantiasa dilakukan
sesuai dengan tingkat nafsu makan,pertumbuhan dan mortalitas udang. Jika pakan
diberikan terlalu sedikit dapatberakibat pertumbuhan lambat, bahkan memicu
kanibalisme terutama pada pemeliharaan dengan kepadatan tinggi. Demikian pula
sebaliknya, pemberian pakan berlebih dapat menimbulkan masalah. Selain sebagai
limbah, sisa pakan dapatmenyebabkan penurunan mutu air di tambak.Seberapa besar jumlah
pakan yang dikonsumsi oleh udang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: jenis
pakan, ukuran udang, suhu air, padat tebar, cuaca, kualitas air dan status
kesehatan udang itu sendiri. Faktor-faktor tersebut perlu diperhatikan guna
memaksimalkan penggunaan pakan bagi kultivan
(Nur, 2011).
Suhu misalnya, mempunyai efek nyata
terhadap konsumsi pakan dan pertumbuhan. Pada udang vaname, konsumsi pakan
mencapai optimal pada suhu 27-31 C. Suhu di atas atau di bawah kisaran tersebut
menyebabkan konsumsi pakan menurun. Akiyama dan Chwang (1989) dalam Nur (2011)merekomendasikan
persentase pakan berdasarkan berat udang seperti
yang terlihat pada Tabel 1.
Ukuran udang (g)
|
Sebagai Pakan Tambahan
|
Sebagai Pakan Lengkap
|
0 -3
|
10%-4%
|
15%-8%
|
3-15
|
4%-2,5%
|
8%-4%
|
15-40
|
2,5%-2%
|
4%-2%
|
Sumber: Nur(2011)
Penentuan berat individu diupayakan
seakurat mungkin untuk menghindari kesalahan dalam penentuan jumlah pakan
harian. Hal ini dilakukan dengan melakukan sampling pertumbuhan tiap 10-14 hari
sekali. Jumlah sampel minimal 30 ekor. Tetapi jika variasi ukuran terlalu
besar, maka jumlah sampel ditingkatkan dua kali lipat. Untuk hasil yang lebih
baik seharusnya udang ditimbang satu per satu (Nur, 2011).
Sebagai alat bantu untuk memonitor
respon pakan dapat digunakan anco. Jumlah anco sekitar 4-6 buah yang dipasang
pada sisi tambak. Jumlah pakan yang dimasukkan ke dalam anco sebanyak 1,5-2%
dari jumlah pakan yang akan diberikan. Sejumlah pakan tersebut harus habis
dalam waktu 1-1,5 jam (udang ukuran besar) dan 2 jam untuk udang berukuran
kurang dari 4 gram. Jika pakan di anco habis dalam waktu lebih singkat, maka
jumlah pakan berikutnya dapat ditingkatkan hingga 5%. Demikian pula sebaliknya,
jika dalam waktu 1-2 jam pakan belum habis, maka diputuskan untuk mengurangi
jumlah pakan pada pemberianberikutnya
(Nur, 2011).
Pakan yang diberikan untukbudidayaharusnya sesuai
dangan kebutuhan dan dapat memberikan pertumbuhan dan efisiensi pakan yang tinggi.
Kebutuhan pakan harian dinyatakan sebagai tingkat pemberian pakan (feeding
rate) per hari yang ditentukan berdasarkan prosentase dari bobot ikan/udang.
Tingkat pemberian pakan ditentukan oleh ukuran ikan/udang. Semakin besar ukuran
ikan/udang, maka feedingrate-nya semakin kecil, tetapi jumlah pakan
hariannya semakin besar. Secara berkala, jumlah pakan harian ikan/udang
disesuaikan (adjusment) dengan pertambahan bobot ikan dan perubahan
populasi (Effendi, 2004).
Frekuensipakan
ditentukan berdasarkan tingkat kestabilan pakan dalam air dan laju konsumsi
pakan oleh udang. Pemberian pakan lebih sering dapat memperbaiki rasio konversi
pakan, serta mengurangi jumlah nutrien yang hilang (leaching). Pada stadia benih, frekuensipakan lebih sering oleh
karena laju metabolisme pada saat itu sangat tinggi. Idealnya, udang stadia
post larva diberi pakan setiap 2-3 jam sekali (12-8 kali sehari), hal ini sesuai dengan SNI 7311:2009.
Seiring dengan pertumbuhan udang di tambak, maka frekuensipakan dapat dikurangi
dan umumnya maksimum enam
kali selama 24 jam (Nur, 2011).
Frekuensi
pemberian pakan pada udang harus disesuaikan dengan ukuran udang yang
dipelihara, untuk udang kecil cukup 2-3 kali sehari karena masih mengandalkan
pakan alami. Presentasi jumlah pakan yang diberikan mulai dari 50% saat udang
baru beberapa hari ditebar dan 3% saat udang akan dipanen(Rusmiati,
2014).Umumnya frekuensi pemberian pakan udang dalam sistem budidaya semi intensif
dan intensif mencapai 4-6 kali sehari. Semakin sering pemberian pakan akan
memberi peluang yang lebih besar kepada udang untuk makan setiap saat, sehingga
kebutuhan pakan akan selalu terpenuhi (Gufran, 2005).
Banyaknya
zat-zat gizi yang diperlukan ikan/udang untuk pertumbuhannya berbeda-beda, tergantung
pada jenis ikan/udang, ukuran besar ikan/udang, dan kondisi lingkungan hidup
ikan/udang (Kanisius, 2001).Frekuensi pemberian pakan yang lebih sering dengan
jumlah pakan perharinya tetap, maka tiap kali pakan yang diberikan menjadi
sedikit. Dengan cara ini pakan tidak tertumpuk pada suatu waktu saja tetapi
merata sepanjang hari. Selain itu cara ini sangat menguntungkan karena dasar
tambak akan terhindar dari proses pengotoran akibat sisa pakan (Rusmiati,
2014).
Payback Period (Periode Pengembalian) merupakan suatu keputusan
dalam investasi yang sangat memiliki peran penting didalam dunia manajemen,
Payback period dapat diartikan dengan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk
mengembalikan biaya investasi.Periode “Payback”
menunjukkan berapa lama (dalam beberapa tahun) suatu investasi akan bisa
kembali. Periode “Payback”
menunjukkan perbandingan antara “initial
investment” dengan aliran kas tahunan(Riyanto B, 2006).
Break Event Point (BEP) Ialah
analisis titik impas dimana dapat diperhitungkan batas kwantitas produksi yang
mengalami keuntungan dan kerugian pada usaha perikanan yang dilakukan petani
atau nelayan (Riyanto B, 2006).Analisa Break Even Point adalah tehnik untuk
mempelajari hubungan antara biaya tetap, biaya variabel, keuntungan, dan volume
kegiatan. BEP mendasarkan pada hubungan antara biaya (cost) dan penghasilan
penjualan (revenue). Apabila suatu perusahaan hanya mempunyai biaya variabel
maka tidak akan muncul masalah BEP, masalah baru muncul jika perusahaan
memiliki biaya tetap.
Hasil
pengamatan yang dilakukan bahwa budidaya udang vannameyang ada sudah memenuhi
persyaratan antara lain: sehat, ukuran seragam (PL-20) serta bebas dari
penyakit tertentu atau lebih dikenal dengan SPF (specific pathogenic free), seperti: WSSV (white spot syndrome virus), TSV (taura syndrome virus), IMNV (infectious
mionecrosis virus), dan EMS (early
mortality syndrome). Kunci sukses teknologi BUSMETIKterdapat pada pemahaman
terhadap ‘komponen dasar dalam budidaya’. Komponen dasar tersebut adalah: wadah
budidaya, media budidaya, biota budidaya dan lingkungan sekelilingnya (Gambar
6).Wadah budidaya dibuat sedemikian rupa agar mampu menampung media
pemeliharaan (air) sesuai yang diinginkan oleh biota yang dibudidayakan (yaitu:
udang vaname), dimensi wadah budidaya harus dibuat agar memudahkan dalam
pengelolaannya, serta petakan tidak terlalu luas, yaitu hanya 600-1000 m2.
Media budidaya harus sesuai dengan yang diinginkan
oleh udang yang dipelihara baik aspek fisika, kimia maupun biologinya,
bebas hama dan penyakit (steril), serta
yang tidak kalah pentingnya adalah tidak membuat perubahan mendadak pada media
pemeliharaan (air) tersebut, karena perubahan yang mendadak akan mengakibatkan
udang mengalami stres yang tentunya udang akan menjadi lemah dan mudah sakit
Wadah Budidaya
|
Media
Budidaya
|
Biota
Budidaya
|
Pengelolaan
|
Komponen dasar lainnya yang juga sangat penting
mendukung teknologi BUSMETIK adalah mengupayakan kondisi sekeliling kegiatan
budidaya menjadi kondusif. Langkah konkrit yang harus dilakukan adalah membuat
ekosistem mangrove disekeliling tambak. Dengan menciptakan ekosistem mangrove,
maka petakan BUSMETIK akan terhindar dari biota pembawa penyakit (vektor) yang masuk ke dalam petakan
tambak, karena biota pembawa penyakit tersebut akan lebih nyaman tinggal di
dalam ekosistem mangrove.
Proses pemeliharaan udang pada teknologi BUSMETIK,
diawali dengan penyiapan petakan tambak. Menurut Haliman dan Adijaya (2005), persiapan
tambak meliputi pengeringan dasar tambak, pengapuran dan pemupukan.Bentuk petakanyangideal
“bujur sangkar”. Panjang dan lebar disesuaikan dengan luas lahan yang tersedia. Untuk luasan tanah yang digunakan sebagai tambak plastik pada BUSMETIK di Balai Benih Ikan Pantai dilokasi penelitian seluas 40 x 25 meter. Seluruh tambak dilapisi oleh plastik jenis high density polyethelene(HDPE) geomembrane 400 micron dengan ketebalan 0,5 mm, jenis HDPE ini sengaja dipilih
karena memiliki banyak keunggulan salah satunya adalah sangat kedap air dan
mampu bertahan hingga 20 tahun penggunaan. Kedalaman tambak tidak terlalu dalam,
cukup sekitar 100 cm.
a)Pemasangan
Subsoil/Pipa Penguapan b)Pipa Penguapan
yang sudah terpasang
Pemasangan
plastik pada BUSMETIK dilokasi penelitian diawali dengan mengeringkan tanah
dasar tambak hingga keras terlebih dahulu. Tanah dasar diratakan dan dipadatkan agar saat pemasangan plastik bisa lebih rapat
hingga pada saat pengisian air plastik tidak
terangkat naik. Hal utama sebelum plastik tambak dipasang adalah pemasangan
pipa penguapan plastik atau disebut subsoil (Gambar 7).
Setelah pipa penguapan/subsoil terpasang dengan sempurna, proses
selanjutnya adalah pemasangan plastik. Plastik HDPE dipasang secara horisontal
dari bagian tambak yang lebar, karena ukuran plastik HDPE hanya memiliki lebar
4,5 meter sehingga perlu dilakukan penyambungan untuk memenuhi semua permukaan
tambak. Pemasangan plastik HDPE dilakukan dengan selalu memperhatikan kontur
tanah (Gambar 8).Setelah plastik HDPE terpasang
dengan sempurna keseluruh bagian tambak maka langkah selanjutnya adalah
pemasangan biosecurity. Pemasangan biosecurity dimaksudkan adalah
pemasangan pagar keliling tambak menggunakan plastik atau waring kasa minimal
tinggi 50 cm. Hal ini untuk menghindari dari pemangsa seperti kepiting, biawak
dan pemangsa lainnya.
Selanjutnyadalam proses persiapan tambak adalah pemasangan
peralatan sarana dan prasarana pendukung yaitu saringan air pada pintu
pemasukan dan pipa pembuangan air, pipa pengisapan, mesin pompa dan talang/pipa
pemasukan/pendistribusian air laut pada petakan tambak, saringan air pada
bagian output pompa air, jembatan anco/jembatan pemberian pakan dan skala air. Setelah
semuanya siap langkah terakhir dalam persiapan BUSMETIK adalah memasukan air
kedalam tambak. Air yang dimasukan pertama kali ke dalam tambak dilakukan untuk
mencuci semua permukaan plastik, selanjutnya dikeluarkan dan air yang baru
dimasukan kembali hingga ketinggian air mencapai 1 meter. Air yang dialirkan ke
dalam tambak adalah air laut yang langsung disedot menggunakan pipa yang
berhubungan langsung dengan tambak, pada ujung pipa diberi waring yang
berfungsi sebagai penyaring air yang masuk kedalam tambak.Kincir air segera
dipasang sebelum permukaan air semakin tinggi menutupi dasar tambak. Kincir
yang dipasang sebanyak 5 buah dengan posisi putaran yang menghadap ke arah
pembuangan/pintu keluar air, seperti pada tampak pada Gambar 9.
a) Proses pembersihan plastik b)Pemasangan kincir
Hasil pengamatan dilapangan dalam persiapan penebaran perlu
untuk mentreatmen/sterilisasi air menggunakan kaporit dengan dosis
30 ppm yang dilakukan pada petak tandon. Kincir air dijalankan selama tiga
sampai empat hari sampai keadaan air netral. Pengisian air dilakukan sampai air
mencapai ketinggian seratus sentimeter, pemasangan kincir air dilakukan pada
saat yang sama pada saat pengisian air. Kincir air yang dipasang dapat
mensuplai oksigen untuk enam ratus kilogram udang atau satu kincir untuk
penyebaran dua belas kilogram pakan. Untuk kincir yang dipasang pada tambak
plastik yang ada di balai benih ikan pantai sejumlah lima buah yang disebar
dibeberapa titik tambak.Selanjutnya tambak diberi probiotik (bacto gro) dengan dosis 250 sampai
dengan 500 gram/ha. Untuk mempercepat pertumbuhan pakan alami (zoo dan phyto)dilakukan pemupukan pada
area tambak menggunakan pupuk urea dengan dosis 3–6 ppm dan TSP (SP 36) 1 – 2
ppm/ha.
Penebaran
benur dilakukan pada pagi hari pada saat matahari belum terlalu panas, hal ini
untuk menghindari stres pada benur yang akan ditebar. Benur yang akan ditebar
memiliki keseragaman 80-90 % karena benur yang tak seragam akan sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan juga menghindari kanibalisme. Sebelum
benur ditebar dilakukan terlebih dahulu aklimatisasi selama 15-30 menit. Benur
yang akan ditebar juga wajib memiliki sertifikat uji PCR atau bebas virus hal
ini bertujuan agar benur tidak membawa bibit penyakit.
Padat
tebar untuk BUSMETIK 100-300 m2 akan tetapi padat tebar yang
dilakukan pada balai benih ikan pantai 80m2. Hal ini dipilih untuk
melihat sejauh mana hasil yang diperoleh dengan mengurangi padat tebar. Jumlah
benur yang ditebar berjumlah 1000 ekor benur. Menurut Sumantadinata et al. (1985), kepadatan merupakan
jumlah organisme budidaya (ekor) yang ditebar per satuan luas atau volume kolam
atau wadah pemeliharaan lain. Tarsim (2000) menjelaskan
bahwa pada budidaya intensif kepadatan tebar relatif tinggi.
Sifat dan tingkah laku udang, jenis dan media maupun daya dukung perairan
tambak menentukan kepadatan udang yang dipelihara.Muzaki (2004), menyatakan bahwa
dengan padat tebar tinggi dituntut adanya jumlah pemberian pakan yang banyak
dengan pasokan oksigen yang tinggi. Hal ini disebabkan, padat penebaran yang
tinggi akan meningkatkan kompetensi antar individu udang dalam mendapatkan
ruang gerak, pakan maupun oksigen.
Pakan yang diberikan pada
udang vaname
berupa pakan buatan berupa pelet jenis crumble
atau remahan. Adapun manajemen pemberian pakan pada saat pemeliharaan terdapat
pada Tabel 3.
Pada awal pemeliharaan, pakan yang diberikan berbentuk crumbleremahan, karena ukuran udang yang kecil dan menyesuaikan dengan
bukaan mulut udang (Zakaria, 2010). Kandungan proteinnya masih tinggi, yaitu 30
persen karena udang memerlukannya untuk proses pertumbuhan. Dosis pakan yang diberikan yaitu 75-2 % dari
berat biomasa udang dengan frequency
pemberian 2-5 kali/hari. Menurut Briggs (2004), pakan yang dikonsumsi udang
secara normal akan diproses selama 3-4 jam setelah pakan tersebut dikonsumsi,
kemudian sisanya dikeluarkan sebagai kotoran. Banyaknya pakan yang digunakan
tergantung pada berapa jumlah tebar benur, semakin banyak benur yang ditebar
maka semakin banyak pula pakan yang
diperlukan (Lawaputri, 2011).
Pakan yang diberikan dari
awal tebar sampai panen adalah pakan merk ms
Feeng Li standar, pakan jenis ini merupakan pakan khusus udang windu yang
dipelihara dengan sistem intensif. Feeng-Li
standar terbuat dari bahan baku pilihan dan disusun dengan nutrisi
seimbang. Pakan jenis ini juga memiliki keunggulan pengelolaan less water exchange karenadengan feeng-li tingkat kestabilan air baik.
Kandungan nutrisi yang ada pada feeng-li
antara lain: protein 40%, lemak 5%,
serat 2%, abu 13%, kadar air 11%.
Umur Udang
(Hari)
|
Berat
Rata-rata Udang (gr)
|
Diet Pakan
|
Nomor Pakan
|
Dosis Pakan
(%)
|
Frekuensi
Pakan Per Hari
|
Cek Anco (jam)
|
1 - 15
|
2.5
|
I
|
1
|
8
|
2
|
2.5 - 3.0
|
16 - 30
|
4.7
|
I + II
|
1 + 2
|
6
|
3
|
2.5 - 3.0
|
31 - 45
|
7.0
|
II
|
2
|
4
|
4
|
2.0 - 3.0
|
46 - 60
|
10.8
|
II + III
|
2 + 3
|
2
|
5
|
1.5 - 2.0
|
Sumber: Olahan data primer (2016)
Peningkatan produksi juga
dilakukan dengan melakukan pengayaan pakan. Menurut Djarijah (2001), pemberian
makanan cukup untuk mensuplai kebutuhan energi dalam mempertahankan
kelangsungan hidup benur atau udang. Pakan yang diberikan pada udang vaname
sudah diberi perlakuan dengan mencampurkan vitamin C dan multi vitamin. Pengayaan
pakan dilakukan pada saat udang telah berumur 30 hari atau udang sudah mencapai
berat 2 gram. Pengayaan pakanberupa vitamin C dengan dosis 5 gram/kg pakan,
multivitamin dengan dosis 5 gram/kg pakan.
Pencampuran pakan dengan
vitamin C dan multi vitamin dilakukan dengan mencampurkan pelet yang sudah
selesai ditakar dengan vitamin kemudian campuran tersebut dibalut dengan putih
telur/larutan kanji, hal ini bertujuan untuk menjadikan larutan atau campuran
dari bahan tersebut menjadi kalis atau lengket sehingga vitamin yang
dicampurkan bisa merekat pada pakan. Pemberian pakan yang telah diperkaya
dengan vitamin dilakukan secara periodik dimana pakan ini hanya diberikan dua
hari sekali.Pemberian pakan juga diselingi dengan pemberian anti biotik yang
dicampurkan pada pakan berupa ekstrak bawang putih dengan dosis 20 gram/kg
pakan diberikan setiap dua hari sekali.
Frekuensi
pemberian pakan kegiatan budidaya udang vaname
menggunakan teknik BUSMETIK (Budidaya Udang Skala Mini Empang Plastik)
pemeliharaan selama 60 hari dengan hasil bobot biomasa (Tabel 5 dan Lampiran 1).
Berdasarkan Tabel 4, maka diperoleh pertumbuhan berat mutlak budidaya udang vaname
menggunakan teknik BUSMETIK dengan frekuensi
pemberian pakan 2–5 kali/hari yakni 10 gram dan pertumbuhan berat harian yakni 0,16 gram/hari
dengan kelangsungan hidup mencapai 94%.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5.
Variabel Diamati
|
Sampling Minggu Ke-
|
|
|||||||
0
|
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
VI
|
VII
|
VIII
|
|
Umur Udang (hari)
|
20
|
27
|
34
|
41
|
48
|
55
|
62
|
69
|
76
|
Frekuensi Pemberian (kali/hari)
|
2
|
2
|
2
|
3
|
3
|
4
|
4
|
5
|
5
|
Berat udang vaname (g/ekor)
|
1,2
|
1,9
|
2,5
|
3,2
|
4,7
|
5,6
|
7,0
|
8,5
|
10,8
|
Sumber: Olahan data
primer (2016)
Data
hasil pengamatan pada Tabel 5 menunjukkan bahwa, sejak awal pemeliharaan sampai
dengan akhir pemeliharaan, berat udang vaname bertambah secara signifikan yang
berdasarkan umur dan frekuensi pemberian
pakan yang diterapkan.Menurut Effendie (1979), pertumbuhan udang dipengaruhi
oleh keturunan, jenis kelamin, umur, kepadatan, parasit dan penyakit serta
kemampuan memanfaatkan makanan. Pertambahan bobot badan sangat dipengaruhi oleh
konsumsi pakan, karena konsumsi pakan menentukan masukan zat nutrisi kedalam
tubuh yang selanjutnya dipakai untuk pertumbuhan dan keperluan lainnya. Wyban
dan Sweeny (1991), mengemukakan bahwa pemberian pakan yang tepat baik kualitas
maupun kuantitas dapat memberikan pertumbuhan optimum bagi udang. Sementara
Gunarto dan Hendrajat (2008) mengemukakan bahwa laju tumbuh udang vaname di
tambak dipengaruhi oleh suplai makanan yang diberikan, pemupukan, aerasi, dan
sintasan udang yang dibudidayakan. Hal ini
diduga penerapan frekuensi pemberian
pakan secara tepat pada masa pemeliharaan yang
disesuaikan dengan umur udang vaname itu sendiri, didukung oleh pakan yang
diberikan jelas peruntukanya untuk pembesaran udang vaname.
Bobot Sampel
Udang (g/ekor)
|
Berat Mutlak
(gr)
|
Berat Harian
(gr)
|
Kelangsungan
Hidup (%)
|
|
Minggu Awal
|
Minggu Akhir
|
|||
1,2
|
10,8
|
10
|
0,16
|
94
|
Sumber: Olahan data primer (2016)
Halini dapat diasumsikan bahwa pakan yang diberikan dapat dimanfaatkan
oleh udang vaname secara optimal sehingga tidak mencemari badan air sebagai
media hidup udang vaname. Terlebih wadah budidaya empang menggunakan plastik
yang tidak terkontak langsung dengan lumpur pememicu tumbuhnya mikroorganisme
lain dan mencemari badan air, akibatnya pertumbuhan udang vaname terganggu. Hal ini juga mampu mengefisiensi biaya
pemeliharaan.
Berdasarkan data hasil
pengamatan setelah ditabulasi kedalam perhitungan matematis pertumbuhan berat
mutlak udang vaname diperoleh sebesar 10 gram dan pertumbuhan berat harian
sebesar 0,16 g dengan kelangsungan hidup mencapai kisaran 94 %
(Lampiran 2). Hal ini dikarenakan, dalam budidaya udang vaname dengan teknik BUSMETIK
menerapkan sistim pemanfaatan media lain yang relatif mudah penggunaannya yakni
dengan sistem pengelolaan kualitas air
menggunakan probiotik secara teratur. Dengan pemanfaatan probiotik maka
media air dalam BUSMETIK terpelihara secara baik, sesuai dengan kebutuhan hidup
sehingga dapat menunjang pertumbuhan udang vaname.
Strategi pengelolaan
kualitas air yang diterapkan pada teknologi BUSMETIK adalah memberikan
probiotik bakteri jenis Bacillus, denganmemperhatikan dua faktor penting
yaitu ‘stochastic’ yaitu berkaitan denganwaktu atau timing untuk memerikan probiotik serta faktor ‘deterministic’yaitu
dosis yang cukup agar Bacillus mampu menjalankan perannya denganbaik.
Berdasarkan pemahaman terhadap kedua faktor tersebut maka padateknologi BUSMETIK,
Bacillus diberikan pada awal persiapan setelah airtambak netral dari clorine
agar mendominasi mikroorganisme pada mediapemeliharaan, dilanjutkan pemberiaan
rutin secara berkala hingga akhirpemeliharaan untuk mempertahankan populasi Bacillus
dalam air tambak.Pengalaman lapangan membuktikan, aplikasi Bacillus
dengan cara sepertiitu, mampu mempertahankan kualitas air tambak lebih lama,
sehinggaudang lebih stabil dan meminimalisir pergantian air.
Total pakan yang dihabiskan
selama masa pemeliharaan sebesar 1500 kg. Hal ini disebabkan
tingkat stabilitas media air menggunakan probiotik, cara pemberian pakan add sation, feeding frequency yang tepat, jenis dan kadar protein pakan yang diberikan,
sehingga dapat merangsang nafsu makan udang vaname.Menurut Kaligis (2015), adanyapeningkatan kadar protein pakan dalam pemeliharaan mampu meningkatkan pertumbuhan PL udang vaname.
Cuzon et al. (2004),
menyatakan bahwa laju pertumbuhan vaname pada salinitas 15 ppt lebih tinggi
bila diberi pakan buatan dengan kadar protein 50 % dibandingkan pakan buatan
dengan kadar protein 30%.Pengaruh
kadar protein tinggi juga telah dilaporkan Shiau et al. (1991), pada udang windu (Penaeus
monodon) yang dipelihara di salinitas 16 ppt. Perlakuan kadar protein pakan
44%, 48%, 52% menunjukkan penambahan
bobot lebih tinggi dibandingkan kadar protein pakan lebih rendah (32%, 36%,
40%).Adapun jenis pakan yang diberikan pada pemeliharaan
udang vaname yakni pakan khusus udang dengan berbagai macam ukuran berdasarkan
umur udang. Merek
pakan yang digunakan yakni feeng lee dengan
kadar proetin mencapai 35%.
Laju pertumbuhan
harian udang berdasarkan hasil perhitungan sampling mingguan selama 8 minggu
rata-rata 5,5 gram/ekor, dengan frekuensi pemberian pakan 2, 3, 4 dan 5 kali/hari. Semakin
tinggi nilai efisiensi pemberian pakan maka nilai Food Conversi Ratio (FCR) akan semakin
menurun. Nilai FCR diperoleh sebesar 1,4 yang berarti untuk menghasilkan
daging udang sebesar 1,4 kg dibutuhkan sebanyak 1 kg pakan. Frekuensi pemberian pakan
secara teratur memiliki nilai efisiensi pakan tertinggi. Perlakuan dengan frekuensi
pemberian pakan 2, 3, 4 dan 5 kali/hari berdasarkan umur udang vaname memiliki
nilai efisiensi pakan tertinggi, hal ini dikarenakan waktu yang tepat saat
pemberian pakan mengakibatkan energi yang ada dimanfaatkan secara teratur untuk
bertahan hidup dan untuk pertumbuhan. Selain itu juga frekuensi pakan menentukan kelangsungan pertumbuhan
udang, dimana semakin besar ukuran udang maka frekuensi pemberian semakin
besar.
Pengelolaan kualitas pada BUSMETIK tidak
jauh berbeda dengan pengelolaan kualitas air pada umumnya, dimana monitoring
atau pengukuran dilakukan setiap hari untuk mengetahui keadaan dan perubahan
kualitas air. Kualitas air ini juga merujuk pada penggantian air secara
periodik. Dari hasil yang didapat penggantian air dilakukan pada bulan pertama
pemeliharaan yaitu 5-10% setiap 2 minggu dan pada bulan berikutnya dilakukan
setiap dua hari sekali.
No
|
Parameter Kualitas Air
|
Kisaran Rata-Rata
|
1
|
Salinitas (ppt)
|
15 – 25
|
2
|
Suhu (0C)
|
28,5 – 31,5
|
3
|
Ph
|
7,5 – 8,3
|
4
|
Oksigen (ppm)
|
3,5 – 7,5
|
Sumber: Olahan data
primer (2016)
Tabel 6 menunjukkan kisaran rata-rata dari masing-masing kualitas
air yang diambil secara insitu. Indikator
kualitas ini yang dianggap sangat berpengaruh terhadap kondisi tubuh udang. Haliman dan Adijaya(2005) menjelaskan bahwa indikator yang diamati pada kualitas air meliputi pengamatan DO, pH, salinitas
dan suhu. Parameter-parameter tersebut akan mempengaruhi proses metabolisme
tubuh udang, seperti keaktifan mencari pakan, proses pencernaan dan pertumbuhan
udang.
Pengukuran kualitas air dilakukan pada
pagi dan sore hari, dimana dari hasil yang didapat nilai dari ke empat
indikator tersebut berada pada kisaran optimal. Akan tetapi yang sering
mengelami perubahan adalah suhu. Suhu tambak akan meningkat pada saat sore
hari, hal ini sebabkan pemanasan matahari yang menyinari permukaan tambak dalam
jangka waktu yang lama dan kurangnya hujan yang turun akibat musim kemarau.
Menurut Zakaria (2010), Suhu optimal untuk pertumbuhan udang vaname adalah
berkisar antara 26-32° C.Jika suhu
melebihi kisaran, maka metabolisme dalam tubuh udang akan berlangsung cepat,
sehingga kebutuhan oksigen terlarut akan meningkat (Briggs, 2004).
Kegiatan monitoring
selama pemeliharaan dilakukan dengan tiga cara yaitu pertama pengamatan rutin
di anco, pengamatan ini berfungsi untuk melihat populasi udang dan melihat
nafsu makan udang dengan mengangkat ke permukaan air anco yang ada di dalam
tambak. Kedua pengamatan dilakukan secara visual dengan melihat kondisi fisik
udang. Dimana kondisi fisik dimaksudkan adalah dengan melihat ciri-ciri udang
sehat.
Udang yang sehat
memiliki gerakan aktif berenang normal dan melompat bila anco diangkat, respon positif terhadap arus, cahaya, bayangan &
sentuhan, tubuh berwarna cerah,
bersih, licin, tidak ada kotoran atau
lumut menempel,tidak keropos , anggota tubuh lengkap, ujung ekor tidak geripis,
tidak membengkak dan warna garis
terangnya putih, tidak kusam,ekor dan kaki jalan tidak menguncupkondisi
isi usus penuh dibawah sinar, tidak
terputus-putus.Pengamatan ketiga adalah
pengamatan penyakit seperti virus atau bakteri yang harus dilakukan di
laboratorium hama penyakit ikan.
Pemanenan udang pada BUSMETIK dilakukan
pada saat umur udang kurang dari 100 hari atau 90 hari. Menurut Adriyanto et al (2013) kisaran umurpanen udang
vaname 110-130 hari. Karena pada umur tersebut pertumbuhan udang sudah sangat
sedikit dan tidak dapat dimaksimalkan lagi.
Sebelum dipanen tambak diberi kapur 10-20
ppm satu hari sebelum, hal ini berguna untuk mempertahankan pH dan untuk
mencegah terjadinya moulting masal
pada udang. Karena pada saat proses molting, kondisi tubuh udang vaname melemah
dan mudah terserang penyakit (Haliman dan Adijaya, 2005). Zakaria (2010)
menambahkan bahwa Udang yang berganti kulit saat panen akan mengurangi harga
jualnya.
Selama kegiatan pemanenan pada BUSMETIKketinggian/volume air tetap dipertahankan.
Pemanenan dilakukan secara parsial atau sebahagian, hal ini dilakukan untuk
menghindari stres pada udang dan keterbatasan tenaga karyawan untuk menangani
hasil panen. Pemanenan dilakukan pada malam harihingga pagi hari dengan menarik
jaring dari satu sisi ke sisi lain tambak
selama empat hari.
Pada hari ke empat atau panen terakhir tambak dikeringkan untuk mengumpulkan
sisa udang yang ada pada tambak.
Udang yang telah diangkat selanjutnya
dicuci/dibilas dan secepat mungkin dimasukan kedalam box yang sudah terisi es
curah. Mematikan udang cukup dengan menaruhnya kedalam air es atau tumpukan es
curah dengan suhu 100C selama 3-5menit. Udang dipililah berdasarkan ukuran dan
kualitas guna untuk mendapatkan harga jual yang tinggi. Setelah ditimbang udang
disimpan kembali kedalam box dengan ketebalan es masing-masing 10 cm, seperti
tampak pada Gambar 10.
Menurut Amri dan Kanna
(2004), pembesaran dengan teknologi madya atau yang biasa disebut sebagai
pembesaran semi intensif. Jumlah benur yang ditebar pada tambak semi intensif
ini lebih besar dibandingkan dengan jumlah benur yang ditebar pada tambak yang
menggunakan teknologi sederhana.Capaian kegiatan BUSMETIK adalah kualitas dan
kuantitas. Kualitas benur udang yang didederakan harus seragam dan
pertumbuhannya baik, sedangkan kuantitas yang dihasilkan harus tepat sesuai
jumlah dan ukuran permintaan. Untuk mengetahui kelayakan
usaha BUSMETIK dapat dihitung nilai clash
flow, B/C ratio, payback period dan break
event point (BEP) dalam produksi.
Berdasarkan data hasil
analisa kelayakan usaha nilai Rentabilitas
ekonomi diperoleh 5,
49 % > suku bunga 20% dan B/C ratio diperoleh 1,78
dengan pengertian bahwa, penggunaan biaya produksi sebesar RP. 1,00 akan diperoleh
keuntungan sebesar Rp. 1,78(Lampiran
2). Dengan memperhatikan nilai Rentabilitas ekonomi dan B/C
ratio maka dapat dikatakan bahwa, budidaya udang vaname dalam penelitian
ini dengan menggunakan teknik BUSMETIK layak untuk dijalankan.
Arifin et
al., (2007) menyatakan, apabila nilai rentabilitas ekonomi lebih besar dari
suku bunga bank 20% dan nilai B/C ratio>
1, maka usaha budidaya udang dengan teknik BUSMETIK layak dilakukan.
Berdasarkan terapan keseluruhan standar prosedur yang disyaratkan. Diperkuat
oleh pernyataan Haliman dan Adijaya (2005) jika nilai rentabilitas ekonomi> suku bunga bank 24% maka usaha budidaya
udang vaname dengan teknik BUSMETIK dikatakan layak untuk dijalankan.
Hasil analisis kelayakan
usaha selanjutnya dengan memperhatikan nilai Clash flow sebesar Rp. 34.280.000(Lampiran
2). Hal ini dapat diartikan bahwa, arus uang
keluar-masuk pada usaha budidaya udang vaname dengan teknik BUSMETIK senilai
Rp.34.280.000. Payback period diperoleh
1,9
tahun yang berarti bahwa, dalam jangka waktu 1,9tahun modal
usaha yang diinvestasikan pada usaha budidaya udang vaname teknik BUSMETIK akan
kembali. Break event poin diperoleh
Rp. 12.833.333 hal ini berarti titik impas pada usaha budidaya udang vaname
teknik BUSMETIK akan tercapai bila harga jual/kg yaitu sebesar Rp.12.833
(Lampiran 2).
Kesimpulan
yang dapat disampaikan dalam penelitian ini, sebagai berikut :
1.
Budidaya udang vaname
dengan teknik BUSMETIK dengan penerapan
pemberian pakan secara teratur selama 60 hari
diperoleh hasil pertumbuhan berat mutlak 10
gram dan berat harian 0,16 gram/hari. Kelangsungan hidup mencapai 94 %. Semakin lama massa pemeliharaan maka semakin besar frekuensi
pakan yang diberikan.
2.
Budidaya udang vaname
dengan teknik BUSMETIK layak
untuk dijalankan karena memiliki
nilai rentabilitas ekonomi 5,49 %
< bunga bank 20% dan nila B/C ratio 1,8. Dengan memperhatikan nilai Rentabilitas ekonomi dan B/C ratio maka dapat dikatakan bahwa, budidaya udang vaname dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik BUSMETIK layak untuk dijalankan.
< bunga bank 20% dan nila B/C ratio 1,8. Dengan memperhatikan nilai Rentabilitas ekonomi dan B/C ratio maka dapat dikatakan bahwa, budidaya udang vaname dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik BUSMETIK layak untuk dijalankan.
Saran yang dapat
dikemukakan dari hasil penelitian ini sebagai berikut:
-
Perlu dilakukan
penelitian lanjutan yang lebih komprehensif termasuk
untuk kesuaian lahan BUSMETIK.
-
Sebaiknya usaha
budidaya dengan teknik BUSMETIK ini harus mendapatkan bimbingan dan pengawasan
dari tenaga ahli karena teknologi ini masih tergolong baru dan belum banyak
digunakan.
SANGAT BERMANFAAT DALAM PENGHITUNGAN EKONOMI USAHA
BalasHapustHKS BROW
Terima kasih menambah wawasan dalam budi daya Udang paname, sangat bermamfaat
BalasHapus